Jika Benar Tuhan Tidak Salah, Mengapa Ciptaan-Nya Penuh Kesalahan?
Setiap tradisi keagamaan besar di dunia berdiri di atas fondasi keyakinan bahwa Tuhan adalah sempurna. Tidak salah, tidak keliru. Dalam Islam misalnya, Ia disebut Maha Benar (al-Haqq), Maha Kuasa (al-Qadir), dan Maha Bijaksana (al-Hakim). Dalam Kekristenan, Ia adalah the perfect being—sumber kebaikan mutlak. Demikian pula dalam tradisi Hindu, Buddha, bahkan filsafat klasik Yunani: prinsip tertinggi selalu dilekatkan pada kesempurnaan yang tidak bisa ditawar.
Namun, di hadapan realitas dunia, keyakinan ini mulai terguncang. Manusia melihat penderitaan yang nyata: anak-anak lahir dengan penyakit bawaan, bencana alam merenggut ribuan jiwa, perang berkepanjangan menghancurkan peradaban. Jika Tuhan benar-benar sempurna, mengapa ciptaan-Nya tampak penuh dengan “kesalahan”?
Pertanyaan ini bukan sekadar rengekan manusia modern, melainkan perenungan panjang yang sudah ada sejak zaman kuno. Filsuf-filsuf besar mencoba mencari jawabannya, sementara para teolog berusaha keras merumuskan “teodise”—upaya membela keadilan Tuhan di hadapan penderitaan dunia. Tetapi semakin panjang argumen disusun, semakin terasa ada jurang yang tidak mudah dijembatani: antara klaim kesempurnaan Tuhan dan kenyataan getir ciptaan-Nya.
Di sinilah metafora sederhana bisa membantu kita merenung: “No one like cheap wine.” Tidak ada orang yang benar-benar suka anggur murahan. Memang, ia bisa diminum, bisa memabukkan, bisa mengisi gelas kosong. Tetapi rasanya getir, kualitasnya rendah, dan orang hanya meneguknya karena terpaksa. Apakah ciptaan dunia ini sejenis “cheap wine”—fungsional, tapi getir? Dan apakah manusia dipaksa menyebutnya nikmat hanya karena datang dari Tuhan?
Kesempurnaan Tuhan Menurut Doktrin
Sebelum masuk ke kritik filosofis, kita perlu memahami dulu bagaimana agama memandang kesempurnaan Tuhan.
Dalam Islam
Allah disebut Maha Sempurna dan Maha Benar. Al-Qur’an menegaskan: “Tidak ada cacat pada ciptaan-Nya.” (QS. Al-Mulk: 3). Artinya, apapun yang manusia lihat sebagai kekurangan hanyalah karena keterbatasan akal. Tuhan tidak mungkin salah.
Dalam Kekristenan
Teologi klasik menyebut Tuhan sebagai omniscient (Maha Tahu), omnipotent (Maha Kuasa), dan omnibenevolent (Maha Baik). Tiga sifat ini diyakini bersatu tanpa kontradiksi. Jika ada penderitaan, itu disebut bagian dari rencana ilahi yang misterius.
Dalam Filsafat Yunani
Plato menyebut prinsip tertinggi sebagai the Good—kebaikan mutlak. Aristoteles mengenal konsep Prime Mover yang tidak mungkin salah karena Ia hanya menggerakkan segala sesuatu menuju kesempurnaan.
Dalam Hindu-Buddha
Konsep Brahman atau Dharma juga menunjuk pada realitas tertinggi yang sempurna, meski manifestasinya dalam dunia bisa tampak kontradiktif.
Dengan demikian, hampir semua tradisi menegaskan satu hal: Tuhan tidak salah. Kesalahan hanya milik manusia, ciptaan, atau keterbatasan perspektif.
Namun, di titik inilah masalah muncul. Jika benar Tuhan tidak salah, mengapa ciptaan-Nya tampak seolah penuh kesalahan? Apakah “cacat” dalam dunia ini hanyalah ilusi, atau justru tanda bahwa kesempurnaan itu lebih retoris daripada nyata?
Epicurus dan Masalah Kejahatan
Salah satu perenungan paling klasik tentang kontradiksi antara Tuhan dan penderitaan datang dari filsuf Yunani, Epicurus (341–270 SM). Ia merumuskan apa yang kemudian dikenal sebagai Epicurean paradox, atau “masalah kejahatan.”
Argumennya sederhana, tapi mengguncang fondasi teologi:
Jika Tuhan mau melenyapkan kejahatan tetapi tidak mampu, maka Ia tidak Maha Kuasa.
Jika Tuhan mampu tetapi tidak mau, maka Ia tidak Maha Baik.
Jika Tuhan mampu dan mau, maka kejahatan seharusnya tidak ada.
Tetapi kenyataannya, kejahatan ada.
Maka, salah satu klaim tentang Tuhan pasti runtuh.
Logika ini terus bergema sepanjang sejarah. Augustine, Aquinas, hingga para teolog modern bergulat dengan pertanyaan yang sama. Mereka mencari jalan keluar, misalnya dengan berkata bahwa penderitaan adalah ujian, atau kejahatan lahir dari kebebasan manusia. Tetapi jawaban itu sering kali terasa seperti tambalan, bukan penyelesaian.
Epicurus tidak pernah menyatakan dirinya ateis radikal. Ia hanya menunjukkan bahwa ada kontradiksi logis yang tidak mudah dijawab: bagaimana mungkin Tuhan yang dikatakan Maha Kuasa dan Maha Baik, membiarkan ciptaan-Nya dipenuhi kesalahan dan penderitaan?
Jika kita sandingkan dengan metafora sebelumnya—“No one like cheap wine”—kita bisa melihat kesamaan nada. Dunia memang bisa diminum, bisa dijalani. Tetapi rasa getirnya menimbulkan pertanyaan: apakah ini benar-benar hasil karya seorang Pencipta yang sempurna, ataukah ada cacat dalam proses penciptaan itu sendiri?
Masalah Kejahatan dalam Perspektif Modern
Masalah yang dirumuskan Epicurus bukan sekadar teori kuno. Hingga hari ini, itu tetap menjadi argumen paling kuat melawan klaim kesempurnaan Tuhan.
Bencana alam: Gempa bumi, tsunami, pandemi. Tidak bisa disalahkan pada kebebasan manusia, karena mereka terjadi tanpa pilihan individu.
Penyakit genetik: Seorang bayi lahir dengan kanker. Apakah bayi itu “dihukum”? Sulit diterima.
Ketidakadilan sosial: Ada orang yang bekerja keras tapi miskin, sementara yang lahir di keluarga kaya menikmati limpahan rezeki.
Jika semua ini bagian dari “rencana Tuhan”, apakah rencana itu benar-benar pantas disebut baik?
Teologi klasik sering menjawab dengan misteri: “Jalan Tuhan tidak sama dengan jalan manusia.” Tetapi jawaban ini, seperti dikatakan filsuf David Hume, lebih banyak menutup pertanyaan daripada menjawabnya.
Hume, terinspirasi Epicurus, menulis:
“Is God willing to prevent evil, but not able? Then he is impotent.
Is he able, but not willing? Then he is malevolent.
Is he both able and willing? Whence then is evil?”
Pertanyaan itu tidak kehilangan relevansinya hingga hari ini.
Nietzsche dan Kehendak Manusia
Jika Epicurus mengajukan pertanyaan logis, dan Voltaire menyajikan kritik emosional melalui tragedi, maka Friedrich Nietzsche (1844–1900) melangkah lebih jauh: ia menelanjangi gagasan Tuhan itu sendiri.
Nietzsche tidak puas hanya bertanya, “Mengapa ciptaan penuh kesalahan?” Baginya, pertanyaan itu lahir dari asumsi yang salah: bahwa Tuhan benar-benar ada, dan benar-benar menjadi sumber makna. Dalam karyanya yang terkenal, Also sprach Zarathustra, Nietzsche menyatakan: “Tuhan telah mati.”
Ungkapan itu bukan klaim biologis, melainkan metafora: gagasan tentang Tuhan sebagai pusat kebenaran dan kesempurnaan sudah tidak lagi relevan dalam dunia modern.
Tuhan Sebagai Alat Pemaksaan Nilai
Menurut Nietzsche, Tuhan sering digunakan bukan untuk membebaskan manusia, melainkan untuk memaksa manusia tunduk pada nilai tertentu.
Jika dunia penuh kesalahan, teologi berkata: “Bukan Tuhan yang salah, tapi manusia.”
Jika penderitaan begitu nyata, teologi berkata: “Itu bagian dari rencana Tuhan.”
Jika manusia merasa hampa, teologi berkata: “Bersujudlah, maka engkau akan tenang.”
Dengan cara ini, Tuhan menjadi tameng bagi kontradiksi. Bukannya memberi jawaban, Ia justru digunakan untuk menghentikan pertanyaan.
Nietzsche melihat ini sebagai bentuk kemalasan intelektual—bukan pada manusia yang bertanya, tetapi pada konsep Tuhan yang “dipaksakan selalu benar.”
Kehendak untuk Berkuasa (Will to Power)
Nietzsche mengajukan alternatif: manusia tidak boleh lagi bersandar pada Tuhan untuk mencari makna. Sebaliknya, manusia harus mengandalkan kehendaknya sendiri (will to power).
Jika dunia pahit, manusia harus berani menciptakan nilai baru. Jika ciptaan penuh kesalahan, manusia harus berani memperbaikinya, bukan sekadar berkata: “ini sudah sempurna.”
Dalam kerangka ini, metafora “No one like cheap wine” menjadi jelas. Jika dunia adalah anggur murahan, maka manusia harus belajar membuat anggur yang lebih baik, bukan memaksa dirinya berkata anggur murahan itu nikmat hanya karena berasal dari “pembuat agung.”
Kritik Nietzsche pada Kesempurnaan Palsu
Nietzsche melihat bahaya besar dalam klaim “Tuhan tidak salah.” Bahayanya bukan hanya kontradiksi logika, tetapi juga konsekuensi sosial dan psikologis:
Manusia kehilangan keberanian bertanya.
Karena setiap kritik dianggap melawan Tuhan.
Manusia terjebak dalam moralitas budak.
Nilai-nilai dipaksakan dari luar, bukan lahir dari kekuatan dalam diri.
Penderitaan dipelihara, bukan dihapuskan.
Karena penderitaan dianggap “alat Tuhan” untuk menguji iman, padahal bisa jadi hanya hasil dari ciptaan yang memang cacat.
Nietzsche mendorong manusia untuk melihat kenyataan apa adanya, tanpa topeng teologi. Dunia memang getir, seperti anggur murahan. Tetapi dengan mengakuinya, manusia bisa mulai mencipta sesuatu yang lebih baik—alih-alih terus menipu dirinya dengan kata “sempurna.”
Penutup: Antara Kesempurnaan dan Citra yang Dipaksakan
Sejak Epicurus, Voltaire, Nietzsche, hingga teolog modern, pertanyaan yang sama tidak pernah padam: Jika benar Tuhan tidak salah, mengapa ciptaan-Nya penuh kesalahan?
Jawaban demi jawaban telah dicoba: kebebasan manusia, pertumbuhan jiwa, atau misteri yang tak terjangkau. Tetapi semuanya memiliki kelemahan mendasar: mereka tidak menghapus penderitaan nyata. Gempa tetap menghancurkan kota, bayi tetap lahir dengan penyakit, dan orang miskin tetap mati kelaparan.
Mungkin inilah yang membuat metafora sederhana “No one like cheap wine” begitu kuat. Dunia ini seperti anggur murahan: bisa diminum, bisa memabukkan, bahkan kadang terasa manis dalam momen tertentu. Tetapi kualitasnya tetap getir, meninggalkan rasa pahit yang tak bisa dihapus.
Agama menuntut kita berkata: “anggur ini nikmat, karena pembuatnya sempurna.” Tetapi akal dan pengalaman kita tahu: tidak ada yang sungguh-sungguh menyukai anggur murahan. Kita hanya dipaksa untuk menyukainya agar tidak dianggap melawan Sang Pembuat.
Pertanyaannya kemudian: apakah Tuhan benar-benar tidak salah, ataukah kesempurnaan-Nya hanyalah citra yang dipaksakan oleh diri-Nya sendiri?
Jika Ia benar-benar Maha Kuasa, Ia bisa saja menciptakan dunia tanpa penderitaan ekstrem. Jika Ia benar-benar Maha Pengasih, Ia bisa saja mencegah tragedi yang menimpa orang tak bersalah. Tetapi kenyataan berkata lain.
Mungkin, sebagaimana Nietzsche sarankan, manusia perlu berhenti menipu dirinya. Dunia ini pahit, dan tidak ada salahnya mengakuinya. Mengatakan dunia ini sempurna sama seperti memaksa lidah berkata “anggur murahan itu lezat”—sebuah kebohongan yang dilestarikan demi mempertahankan otoritas.
Pada akhirnya, refleksi ini tidak selalu harus berujung pada penolakan total. Justru mungkin di sinilah letak kematangan spiritual dan intelektual: berani mengakui kontradiksi, tanpa terburu-buru menutupinya dengan dogma.
Tuhan, jika benar ada, mungkin tidak membutuhkan pembelaan dari manusia. Tetapi manusia, jika benar berakal, seharusnya tidak berhenti bertanya: apakah kita memuji kesempurnaan sejati, atau sekadar mengulang-ulang citra yang dipaksakan?